Jatuh Bangun Rakyat di Tengah Mandeknya Ekonomi Negara
- seblakmekdi
- Nov 30, 2020
- 7 min read
Updated: Dec 12, 2020
Jatuh Bangun Rakyat di Tengah Mandeknya Ekonomi Negara
Beberapa jam setelah terbitnya matahari, terlihat orang yang berbondong-bondong keluar dari rumah. Di antara mereka banyak yang menggunakan pakaian rapi, kaos oblong bahkan seragam ojek online (ojol). Mengemudikan kendaraan pribadinya saat menelusuri jalanan yang kian sepi di bilangan kota Jakarta. Masa pandemi bukan alasan untuk mereka tetap di rumah, sehingga ‘menerobos’ adalah jalan keluar demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari.
Sejak masuknya Covid-19 di Indonesia, yang diyakini pada maret 2020 masyarakat masih dihadapi dengan keterbatasan beraktivitas. Bagi negara, dampak paling nyata terjadi saat Indonesia memasuki resesi ekonomi. Keadaan perekonomian ini diawali dari himbauan pemerintah terkait segala hal serba dilakukan di rumah saja. Kebijakan yang semakin memengaruhi berbagai aspek dalam masyarakat dan pemenuhan kebutuhannya, terutama bagi mereka yang tetap harus keluar. Kecemasan akan risiko tertularnya virus direlakan demi menunjang kebutuhan makan, listrik, hingga sekolah anak. Hal ini semakin menyulitkan bagi mereka yang hanya bergantung pada upah harian, salah satunya seperti pengemudi ojol.

Foto: Eugine Clara (unsplash.com/@eugeniaclara)
Yudi Armanto, seorang lelaki paruh baya yang bekerja sebagai pengemudi Gojek di daerah Jakarta Barat. Mau tidak mau menghabiskan banyak waktunya di luar rumah. Berkendara ke sana ke mari dan berharap dapat pulang membawa hasil jerih payahnya. Bagi Yudi, pandemi sangat berpengaruh dalam menurunkan pendapatannya. Ia mengatakan jika semakin hari penumpang semakin sulit ditemui, “Biasanya dapet 30 orang, tapi lagi pandemi gini paling banyak 15. Itu juga jarang.”, tutupnya. Sebenarnya, Yudi hanya satu dari ribuan pengemudi Gojek yang tersebar di Jakarta Barat. Kota dengan populasi penduduk sekitar 19.529 ribu orang -menurut BPS tahun 2019. Jumlahnya tidak sebanding dengan penumpang yang biasa Yudi dapatkan sehari. Bagaimana orang seperti Yudi bisa pulang dengan dompet yang terisi cukup?
Kondisi pandemi, rasanya membuat perusahaan Gojek dibebani tanggung jawab yang lebih. Tidak perlu menunggu lama, perusahaan mengeluarkan kebijakan insentif berupa pembulatan perolehan tarif dan makan gratis. Dari apa yang dikatakan Yudi, untuk bisa mendapatkan pembulatan penghasilan yang semisal di hari itu mendapatkan Rp 50.000 bisa menjadi Rp 70.000, pengemudi harus bisa mencapai target 6 poin. Selain itu, Gojek memberi kesempatan makan gratis di mitra Gojek (yang terhubung dengan GoFood) dan diperbolehkan mengajak 2 (dua) orang kerabat atau keluarga. Meski dengan adanya upaya perusahaan Gojek dalam membantu mitranya untuk tetap produktif, tidak dipungkiri orang-orang seperti Yudi tidak bisa selalu bergantung dengan bantuan yang diberikan.

Foto: Afiff Kusuma (unsplash.com/@findracadabra)
Mau bagaimanapun, mereka harus memberi timbal balik yang sepadan kepada perusahaan. Ada harga yang harus dibayar untuk mendapat hasil yang sebenarnya belum tentu menunjang kebutuhan harian. Terlebih pemerintah DKI Jakarta di daerah tempat tinggalnya, hanya memberi bantuan sosial berupa beras 20 Kg. Lalu apakah yang ‘lainnya’ tercukupi?
***
Di sisi lain, pandemi juga teramat memengaruhi pedagang yang bergerak di komoditas pokok. Beras, sebagai bahan makanan pokok yang dijual untuk memenuhi kebutuhan primer mayoritas penduduk, yaitu masyarakat menengah ke bawah juga terkena dampaknya. Padahal ketergantungan masyarakat dengan beras, mungkin saja menjadi peluang bagi pengusaha untuk tetap mendapatkan pemasukan yang stabil. Amin Garnadi, seorang pemilik toko beras yang membawahi beberapa karyawan, biasa menjual beras dagangan di sebuah Ruko kepada masyarakat setempat daerah Jakarta Barat.

Foto: Okezone (economy.okezone.com/)
Beberapa saat sejak kemunculan Covid-19, usaha beras miliknya mengalami penurunan yang cukup besar. Amin mengatakan, “Kita dagang penurunannya sekitar, ya sekitar ibaratnya hampir 70%.” Ia menambahkan bahwa penurunan omset, dimulai ketika Mei 2020, “Januari, februari, maret, april, mei. Bulan Mei itu udah. Bulan mei udah menurun. Januari, februari, maret, april. April tuh udah mulai tuh, iya udah mulai menurun”, tambahnya.
Ketika disinggung mengenai resesi, Amin juga menyampaikan bahwa karyawannya belum mengenal istilah resesi. Namun percaya jika pandemi membuat berbagai sektor usaha sepi. Mengutip perkataannya, “Belum. Selama ini udah udah merasakan ada resesi itu, kesatu kita dagang si pembeli berkurang. Kita dagang menurun dan pabrik-pabrik banyak PHK Orang, abis pasarnya sepi.”
Melalui penjelasan Amin, situasi yang dialami masyarakat tidak membawa mereka mengerti lebih jauh kondisi perekonomian negaranya. Meski mereka tinggal di daerah ibukota yang dekat dengan sumber informasi, istilah penting ini malah tidak biasa. Kondisi resesi memperluas kesempatan bagi pengangguran dan pemutusan kerja yang meningkat. Terjadi karena perusahaan tidak mampu membayar upah. Lalu, banyaknya keluarga yang bahkan sulit untuk membeli sembako. Sekiranya perlu diketahui, bahwa pendapatan negara banyak dihasilkan dari belanja masyarakatnya. Sehingga tepat bagi investor membuka usahanya di Indonesia. Sayangnya, ketika pandemi melanda Indonesia tak bisa lagi mengandalkan pengeluaran masyarakat. Mau bagaimana lagi, untuk beli token saja mungkin pas-pasan?
Penurunan pendapatan yang terjadi di toko beras milik Amin, tidak menjadikannya mencoba berjualan online. Meski dalam pandemi, jualan online bisa dibilang ‘jalan keluar’ untuk menyelamatkan usaha dari kondisi yang semakin tak menentu. Bagi stok dagangannya, pemenuhan kebutuhan keluarga, dan gaji para karyawan.

Foto: Jordan Rowland (unsplash.com/@yakimadesign)
Sejalan dengan keadaan, masa pandemi memperlihatkan berbagai peluang yang sangat mungkin dimanfaatkan. Misalnya, jika pengusaha bahan pokok seperti Amin bisa saja menjadi tempat pemerintah membeli keperluan bantuan sosial. Ketika itu terjadi, pemerintah sudah terjun langsung dalam mempertahankan usaha lokal. Sayangnya, kesempatan yang ada di depan mata tidak dimanfaatkan. Bahkan dianggap angin lewat saja, karena sampai sekarang Amin pun tidak mendapat dukungan apa pun dari pemerintah.
*** Hari menjelang sore, tidak banyak orang yang berlalu-lalang di sekitaran ruko Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tampak beberapa ruko yang masih buka diantara sebagian besar lainnya yang ditutup oleh pemiliknya. Toko baju milik Atma adalah salah satu ruko yang masih dibuka, menunggu kunjungan oleh para pembeli.

Foto: Caleb Lucas (unsplash.com/@calebdlucas)
Di masa pandemi, pembeli yang datang tidak sebanyak dulu. Pendapatan dari toko yang disewa dan dijalankannya seorang diri mengalami penurunan yang cukup besar, “Luar biasa mas. Waduh, biasanya itu kalo sehari yang belum yak. bisa sampe seribu lima ratus, sejuta setengah, dua juta.”. Sambil mengingat banyaknya pembeli beberapa waktu lalu, “Eeee, enem puluh ya. Kalo waktu lagi rame-ramenya itu, waduh enak banget dapet lima juta atau segini. Sekarang bener-bener”, tambahnya.
Di samping dampak pandemi Covid-19, Atma percaya bahwa terjadinya penurunan pembeli juga dikarenakan banyak penjual yang gulung tikar karena permainan para pemilik ruko. Sebelumnya, Pasar Santa termasuk cukup ramai dan terkenal. Dikarenakan banyak komunitas yang juga merintis usaha seperti, coffee shop, makanan pernak-pernik kekinian, dan lain sebagainya. Ia menjelaskan, “Orang-orang lama, maksudnya yang orang-orang yang udah dari- cuman kalo yang anak-anak komunitas, selewat aja mereka udah. Mereka gak ini, mereka kan memang apa ya, dagangnya ngikutin jaman. Jadi begitu gak jalan, mereka langsung ambil keputusan. Tapi sebenarnya dulu, kalo pemilik kios-kios itu gak nakal si rame.”
“Jadi awalnya kan, kontrak di atas tuh lima juta.. Tujuh juta. di tahun pertama. Tahun kedua naik dua belas. He-eh. Temen-temen yang itu masih sanggup. Tahun ketiganya udah gak normal. Ada yang dua lima, ada yang tiga puluh”, tambah Atma.

Foto: Falaq Lazuardi (unsplash.com/@falaqkun)
Sepinya Pasar Santa seperti tidak mengelak jarang pengunjung. Terutama ketika para pedagang merasakan adanya permainan pemilik ruko dan munculnya Covid-19. Tempat yang empat hingga enam tahun lalu ramai menjadi tempat nongkong anak muda Jakarta, harus digantikan dengan pemandangan rolling door warna-warni. Menandakan banyaknya kios atau ruko yang ditutup.
Bagi pedagang seperti Atma, cara lain untuk mendapat pemasukan seperti berjualan online pun dilakukan. Tetapi rasanya, tidak semua pedagang cocok dengan kebiasaan hit and run pembeli. Atma yang juga mengalaminya memilih untuk berjualan offline, ternyata lebih cocok.
Pemerintah setempat pernah mendata para pedagang yang mendiami ruko Pasar Santa untuk penyuluhan bansos (bantuan sosial). Namun disayangkan oleh Atma, karena tak kunjung tiba di tangan, “Dulu sih, isunya ada. Cuman kita cepet ngasih informasi, ternyata gak valid infonya cuman (tidak terdengar jelas). Tindak lanjutnya gak ada, cuman yang lain gak tau ya. Tapi dulu, dulu sempet ada survei. Di data, ktp apa segala macem. Ya mungkin gak tau di tempat lain.”, ucap Atma dengan nada keheranan
Hari menjelang malam ketika lampu-lampu jalanan mulai menyala. Sebagian dari mereka yang baru keluar rumah sambil mendorong gerobaknya. Menuju tempat yang diharapkan ramai pembeli, agar perjuangannya di luar rumah tidak sia-sia. Sebaliknya, bagi mereka yang sudah memulai hari sejak pagi rasanya tidak sabar untuk pulang dan beristirahat. Maka dari itu, jalanan bising dengan klakson.
Jaket dan helm yang dominan berwarna hijau itu memang tidak sebanyak biasanya, tetapi cukup nyentrik di jalanan yang mulai gelap. Dari kejauhan terlihat beberapa orang yang menyapu depan toko, menyalakan lampu untuk menyambut malam, bahkan menurunkan rolling door tokonya. Begitulah rasanya hari demi hari berlalu. Menjadi pihak yang dengan susah payah menanggung gejolak pahit lesunya keuangan negara.

Foto: Azka Rayhansyah (unsplash.com/@azka_ryhns)
***
Beberapa kisah yang dibagikan di atas adalah gambaran perekonomian yang dialami masyarakat pada masa pandemi Covid-19. Pendapatan mayoritas penduduk menurun dalam jangka waktu cukup lama, rendahnya daya beli masyarakat, serta meningkatnya pemberhentian karyawan dan penyerapan tenaga kerja karena banyak usaha gulung tikarnya. Situasi tersebut adalah dampak dari resesi ekonomi, yang juga termasuk permasalahan ekonomi makro. Oleh karena pengaruhnya mencapai ke lingkup besar -dalam hal ini sistem ekonomi negara.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam teori ekonomi makro yang menjadi perhatian adalah kondisi ekonomi secara agregat. Kondisinya meliputi pendapatan nasional, konsumsi nasional, investasi, pengguguran, tabungan, dan inflasi. Menilik pendapatan negara, perlu diketahui bahwa mayoritas penduduk Indonesia berada di tingkat menengah ke bawah. Hal ini menjadi penting karena setiap konsumsi rumah tangga menjadi sumber pemasukan negara yang paling besar. Dikarenakan segmentasi kelasnya, para investor semakin tertarik membuka usaha di Indonesia.
Namun di masa pandemi, permasalah keuangan menjadi perhatian utama oleh masyarakat menengah ke bawah. Sehingga berpengaruh pada kegiatan pemenuhan kebutuhan. Jika sebelumnya kebutuhan tersier masih dapat dipenuhi, kali ini kebutuhan primer lebih menjadi perhatian. Melemahnya pemasukan masyarakat menyebabkan permintaan dan penawaran menurun. Serta investor pun tidak lagi melanjutkan usahanya di Indonesia atau bahkan tidak tertarik karena ketidakstabilan ekonomi yang sedang dihadapi.
Situasi yang terjadi memunculkan berbagai upaya pemerintah untuk menanggulanginya. Terdapat kebijakan mengenai bantuan sosial berupa bahan makanan dan sejumlah uang, bantuan modal UMKM, dan Kartu Prakerja. Paling tidak agar masyarakat bisa bertahan hidup, memutar pengeluaran, dan tetap meminimalisir kegiatan di luar rumah.
Nyatanya masyarakat tidak mungkin untuk terlalu mengandalkan pemerintah, setelah mendapat bantuan yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan. Bahkan terdapat daerah yang belum mendapatkan haknya. Realitas ini sejalan dengan beberapa tipe tindakan dalam Teori Tindakan oleh Max Weber, ketika masyarakat tetap memilih bekerja di luar rumah. Tidak lain adalah tindakan rasional instrumental (mengupayakan tujuan) dan rasional nilai (upaya pemenuhan nilai tanpa memikirkan hasilnya). Masyarakat memberanikan diri untuk kembali bekerja di luar rumah dengan tujuan menambah pemasukan. Meskipun yang didapatkan jauh dari jumlah sebelumnya. Tetapi paling tidak ada usaha yang dilakukan, alih-alih hanya mengharapkan kebijakan pemerintah yang lebih tidak menentu.
Referensi
Andi Faisal Anwar, I. P. (2018). Virtual, Tinjauan Sosiologi Ekonomi Terhadap Perilaku Konsumsi Masyarakat Kota Makassar Pada Pasar. Al Falah: Journal of Islamic Economics, Vol. 3, No. 1, .
Citradi, T. (2020, Juli 19). Dampak Riil Resesi Bagi RI: Pengangguran & Kemiskinan Melesat. Diambil kembali dari CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200718161842-4-173731/dampak-riil-resesi-bagi-ri-pengangguran-kemiskinan-melesat
Hastuti, R. K. (2020, Oktober 03). Apa Sih Seramnya RI Resesi Ekonomi? Diambil kembali dari CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20201003084954-4-191567/apa-sih-seramnya-ri-resesi-ekonomi
Kharti, I. S. (2018, Juni 8). Apa Itu Pertumbuhan Ekonomi dan Teori-Teori Pendukungnya. Diambil kembali dari ruangguru: https://blog.ruangguru.com/apa-itu-pertumbuhan-ekonomi-dan-teori-teori-pendukungnya
MUSTIKOWATI, R. I. (t.thn.). MODUL AJAR TEORI EKONOMI MAKRO. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kanjuruhan Malang.
Supraja, M. (2012). Alfred Schutz: Rekonstruksi Teori Tindakan Max Weber. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.2 , November .
Swasito, A. P. (2020, Oktober 6). Teori Ekonomi. Diambil kembali dari KLC Kemenkeu Learning Center: https://klc.kemenkeu.go.id/tag/teori-ekonomi/
Yuniar, R. W. (2020, Agusttus 6). 'Resesi di depan mata', petani 'paling terdampak' harus hadapi 'harga yang hancur'. Diambil kembali dari BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53670116
Yusuf, E. (2020, Oktober 5). Resesi dan Ketenagakerjaan . Diambil kembali dari Republika: https://www.republika.id/posts/10701/resesi-dan-ketenagakerjaan
Comments